Bunga Lily Itu Belum Layu
Seorang
dara ayu mengedarkan pandangannya ke jalanan dari sebuah halte bus yang mulai
sepi, ditemani seekor kucing kembang telon nan memiliki bola mata hijau. Sepanjang
penglihatannya, Sera melihat pemakaman yang masih ramai dengan penjaja kerak
telor dan tukang ojek yang masih nangkring tak jauh dari sana. Dirinya dapat
melihat TPU Karet Bivak dipenuhi oleh gelandangan yang ada di gerbang masuk. Angin
malam menusuk tengkuknya, mengibas pelan poni ikalnya. Dicangklongkannya gitar klasik
peninggalan ayahnya yang ia gunakan ketika manggung di suatu kafe tak jauh dari
sana.
Begitu
bus datang, Sera segera menaikinya, kemudian memilih bangku dekat jendela. Saat
bus berbelok pada tikungan pertama, netranya berhenti pada seorang lelaki
dengan kamera mirrorless tengah memotret jalanan, masih memakai kemeja
laboratorium komputer, dan menyelempangkan tas laptop seperti dahulu, kini tengah
duduk di depan ruko kosong.
“Dipta?”
gumam Sera begitu pandangan mereka bertemu secara tak sengaja ketika bus berhenti
pada lampu merah, sebelum akhirnya bus melaju sedikit lebih cepat, menyisakan
Sera dengan satu pertanyaan yang bergeming di kepalanya. “Demi Tuhan, untuk
apa aku bertemu dia lagi?”
Dipta
merupakan teman dekat Sera sedari menduduki masa putih abu yang kata mereka legendaris
itu, kemudian masih dipertemukan kembali kala mereka melanjutkan studi di kota pahlawan
nan terkenal akan sejarahnya. Sosok pertama yang sempat mengutarakan
perasaannya pada Sera, juga sosok pertama yang membuatnya dahulu enggan begitu
melewati RS Dr. Soetomo kala mereka masih berada dalam satu kota yang sama. Pasalnya
separuh hati Dipta tertinggal di sana dan membuat Sera sadar bila ia bukan siapa
yang Dipta cari seutuhnya. Setelahnya tak ada lagi komunikasi sama sekali,
Dipta menghilang dari hidup Sera dan gadis itu memilih mengubur ingatannya kala
ia sudah menginjakkan kaki di kota lain.
Sepekan
kemudian, Sera kembali memetikkan gitarnya, membawakan lagu dari Float berjudul
‘Sementara’ pada halaman kafe Biru dan Kopi, kafe yang ia kembangkan bersama
dua sahabatnya. Sebagian poninya berkibar ditiup angin petang, begitupula
dengan scraft scrunchie yang ia kenakan sebagai aksesoris rambut. Di
tengah lagu, pandangan Sera tak sengaja mengarah pada seseorang nan sedang
memotretnya dari kejauhan, yang kemudian tersenyum tipis padanya. Sebisa
mungkin Sera fokus pada permainan instrumennya hingga selesai.
“Kak
Dhey, aku duluan, ya.” Dengan sedikit tergesa, Sera menyambar tasnya, lalu
berjalan menjauh dari kafe begitu permainan musiknya usai. Yang diajak bicara
hanya melihat Sera dengan kebingungan sembari menyeruput mocha frappe
miliknya. Membiarkan gadis itu pergi. Langkah Sera berhenti di pintu begitu
ia berpapasan dengan Dipta. Sera tak banyak bicara, dirinya menghela napas,
sebelum melangkahkan lagi kakinya.
“Sera,
itu benar kau, kan?” Dipta menatap punggung Sera yang sudah dahulu berbalik
darinya, kemudian berjalan mendekat, memejamkan matanya sejenak, mengarahkan
pandangannya pada lelaki pertama nan sempat mengisi harinya, tak dapat
dipungkiri masih mengisi ruang di hidupnya.
Dengan sedikit enggan, Sera mengangguk.
“Apa
kabar? Boleh bicara sebentar? Sudah lama aku tak bertemu denganmu, Ser.” Dipta
berbicara dengan kasual, Sera pun mengiyakan permintaan Dipta. Mereka duduk sembari
menikmati dua cup kertas cokelat dingin di dekat tepi jendela yang mengarah
langsung pada kolam ikan koi nan dihiasi bebatuan macam kristal kebiruan.
“Kabarku
baik, dapat menikmati hidupku dengan damai.” Sera melirik seikat bunga lily
segar yang terlihat dari samping tas milik Dipta, pikirannya melaju pada
beberapa tahun lalu, bunga yang dahulu ia kira untuknya, namun rupanya memiliki
beribu memori dengan orang yang masih memiliki ruang di hati lelaki itu.
Keduanya
terdiam, membiarkan jam dinding menertawakan mereka. Diam-diam Sera tersenyum samar
melihat paras Dipta yang sudah lama tak terlihat baginya. Meski sayatan di
hatinya masih terasa menyesakkan, menutup ribuan pintu kenangan yang tak lagi
dapat ia agungkan. Begitu Sera mendapatkan notifikasi dari seorang kawan dekatnya
di salah satu studio Bandung, ia pun meraih ponsel dan membalasnya seusai melihat
kiriman video dari kawannya itu, tampak sedang menyelesesaikan projek untuk live
reading naskah komik. Sera diminta untuk mengiringinya dengan lagu ciptaannya
sendiri. Selepas membalas, Sera iseng melihat cerita teman yang lain di media
sosial, salah satunya Dipta. Dipta mengunggah bila ia membeli bunga lily itu
karena teringat dengan Aya.
“Masih
tentang Aya?” tanya Sera lirih, netranya masih terpaku pada layer ponsel. Dipta
sedikit terhenyak dibuatnya.
“Aya?
Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan Aya?” Dipta menautkan alisnya, sementara Sera
menghela napas berat, mengalihkan pandangannya.
“Yang
kamu lakukan ke saya itu jahat, Ta.” Sera tanpa pikir panjang menirukan gaya
pengucapan Cinta pada Rangga dalam film yang dahulu ia suka. Dipta menggerakkan
jemarinya dan mengetuk meja dengan gelisah.
“Kamu
tahu apa tentang kehilangan, Ser?” Dipta menyugar rambutnya, mengalihkan
pandangannya dari Sera.
“Dan
kamu tahu apa rasanya menjadi pelarian?” Sera mengernyitkan alisnya. “Sakit,
Ta.”
Dipta
menyenderkan punggungnya pada sofa, terkekeh hambar. “Begitu? Kamu saja tak
pernah merasakannya. Kita juga belum memulai apapun, kamu menolakku begitu saja
dan pertemanan kita sia-sia. Andai saja kita tidak dekat ketika melakukan projek
film pendek itu bersama saat SMA. Dan untuk apa kamu bahas lagi?”
Sera
tertegun pada ucapan Dipta yang baru
saja dilontarkan, ia mengembuskan napas berat, menyunggingkan senyum masam. “Aku
tahu, tak ada yang dapat disalahkan sepenuhnya di sini. Aku tak dapat
menerimamu karena aku merasa hatimu bukan untuk aku, Ta. Perasaanmu semu, aku
datang hanya untuk mengisi harimu setelah Aya tiada. Tak sadarkah dirimu?
Bahkan sehari setelah kamu mengutarakan perasaanmu, kamu masih menggunggah
kenanganmu bersama Aya, lalu aku apa untukmu? Aku memilih untuk memutar balik
di jalan lain kala pulang dari kampus dibanding harus melewati rumah sakit yang
sering kau kunjungi kala ia dirawat di sana.” Sera mengatur jeda napasnya. Dipta
terdiam, begitu pula dengan mereka yang berada di ruang itu. “Maaf, Ta. Aku
harap semesta tak mempertemukanku denganmu lagi.”
Sera
beranjak dari tempat duduknya, Dipta menatap Sera yang sudah tidak tahan lagi
menjadi pusat keramaian. “Tapi, Ser,” Dipta ikut berdiri, memanggil Sera yang hampir
membuka pintu. “Kita masih dapat berteman, kan?”
Mendengar
Dipta, Sera mengeraskan rahangnya, lalu mengusap rintik air matanya yang jatuh
tanpa diminta. Sera berbalik, melihat Dipta dengan senyuman yang ia paksakan,
kemudian mengangguk dan berjalan ke luar, meninggalkan Dipta yang kini larut
dalam pikirannya sendiri. Tanpa mereka sadari, sedari tadi seorang lelaki
memperhatikan mereka berdua, menyesap satu cangkir americano hangat sembari
menggambar sketsa yang belum rampung.
Buliran
kristal dari langit membasahi jalanan. Sera menengadahkan tangannya ke langit
begitu ia tiba di sebuah halte menunggu bus. Bayang-bayang mengenai Dipta
kembali terngiang. Bukan maksud hati bila Sera tak mencoba mengerti bagaimana
perasaan Dipta setelah orang yang dikasihinya tiada lagi di dunia. Namun, Sera
juga tak ingin hatinya terkoyak kembali bila ia hanya berperan sebagai
bayang-bayang saja. Sebelum semuanya berakhir, Dipta dan Sera sempat tergabung
dalam satu tim inti untuk membuat film pendek karya pelajar. Keduanya mewakili
sekolah di tingkat provinsi. Sera menjadi sutradara dan menulis jalannya
cerita, sementara Dipta menjadi Director of Photography sekaligus editor
yang dapat diandalkan. Keduanya selalu menyempatkan waktu bersama, entah dalam
forum formal maupun sekadar memutari kota dan melihat matahari terbenam di
pinggiran pantai yang tak jauh dari sekolah mereka, kemudian melarungkan pesan
pada laut dengan perahu kertas buatan mereka seraya bermain di sekitaran ombak
kecil.
“Serabi.”
Suara familiar yang ia dengar membuat Sera tersadar dari lamunannya. Sosok
lelaki tengah berdiri dengan payung hitam dan jaket merah yang lengannya
digelung hingga siku serta kaos polos yang Sera kenali.
“Bintang
bukan kejora?” Sera menoleh ke arah Bintang. Lelaki bernama Bintang tersenyum
dengan tatapan yang meneduhkan, Sera masih memanggilnya dengan panggilan yang
dibuat khusus untuknya. “Aku pikir saat ini kamu masih berada di Bandung, Bin.”
“Apa
artinya Bandung jika aku harus menghabiskan siomay Bi Eem sendirian, Serabi?” Bintang
terkekeh kecil, meninju pelan siku Sera, sementara Sera tersenyum dengan panggilan
unik yang akrab di telinganya, kemudian melihat plester bergambar stroberi yang
dikenakan Bintang.
“Kamu
terluka? Apa kamu baik-baik saja?” Sera mengusap daerah sekitar plester itu
perlahan.
Bintang
menggeleng. “Hanya luka kecil, sisa plester yang kamu beri waktu itu masih ada.”
“Sisa
plester dua tahun lalu? Agak lain rupanya,” ujar Sera, sedikit terkejut
mendengar pernyataan Bintang.
“Iya,
terima kasih sudah menyembuhkan luka, Ser. Biar kini aku yang mencoba
menyembuhkan lukamu.” Bintang tersenyum, menatap netra Sera dalam, mengamati
setiap sorot kekecewaan yang ada di sana, dengan perlahan meraih ujung jari
Sera. “Setidaknya kamu tidak terjatuh sendirian.”
Sera
menatap jalanan dengan tatapan kosong, membiarkan aroma petrikor memenuhi
rongga hidungnya. Bintang tersenyum samar. “Kamu pernah bilang bila setiap
orang memiliki peran dan kesannya masing-masing. Bila Dipta pernah menjadi
sesuatu yang berarti untukmu, biarkan aku pun untuk kembali mengisi separuh
dirimu yang hilang.”
“Bagaimana
kamu tahu mengenai Dipta?”
“Kamu
yang pernah bercerita dahulu. Dipta dengan kameranya, Dipta dengan senyumnya,
ataupun Dipta yang selalu ada menunggumu di gerbang sekokah. Benar begitu,
bukan?” Bintang menyelipkan anak rambut Sera di belakang telinga gadis itu. “Izinkan
kali ini aku yang mengambil perannya, yang akan selalu menunggu kedatanganmu tanpa
berpikir untuk pergi.” Digenggamnya jemari Sera erat, merengkuhnya dalam
dekapan di antara lampu jalanan yang mulai menyala. Sera menenggelamkan wajahnya
di pundak Bintang, menyisakan air mata pada kemeja Bintang.
Tak
jauh dari sana, Dipta melihat mereka di seberang, membawa dua payung yang
tadinya hendak diberikan satu untuk Sera. Namun, Bintang tampak mendekatinya
lebih dahulu. Dipta tersenyum kecil dan berbalik pergi.
“Kira-kira,
nanti siapa yang akan jatuh cinta duluan?”
“Ya
kamu lah, Ta. Palingan nanti dianya kamu ajak ngoding atau hunting foto bareng.”
“Yang
duluan belum tentu bertahan lebih lama, Ser.”
“Ya
sudah, aku mau jatuh hati sama bintang saja. Biar kadang tidak terlihat, tapi
selalu ada.”