Es Limun Teman Perjalanan
Sepasang merpati
terbang bebas dari balik jendela, semburat rona merah terpancar begitu jelas,
menambah keindahan swastamita yang tak
berbeda dari dahulu. Tak jarang tampak pemukiman yang menjadi saksi atas
panggung sandiwara negeri nan masih dipenuhi oleh kesukaran para pemainnya,
miris kala seorang wanita paruh baya terduduk di tepi rel, menyanyikan kidung
untuk anaknya dalam balutan selendang usang, menyuapkan sup nan sudah hambar.
Aku hanya menyenderkan kepala, memutar lagu milik Kahitna yang sudah beratus
kali kuputar seminggu ini. Tak ada yang dapat kuajak bicara, bangku di
seberangku kosong sedari tadi, hanya dua pemuda di seberang yang sibuk
membicarakan ketidakadilan dalam pemilihan ketua desa di tempat mereka berada.
Sedikit pening kepala, sementara perjalanan masih memerlukan setengah hari
lagi.
Pada pemberhentian
selanjutnya, seorang pria tua memasuki gerbong dengan dua dus yang lumayan
besar, menaruhnya dengan sedikit tertatih di bagasi kereta, kemudian duduk
di di sebelahku dan melepas topinya,
menampakkan sebagian rambutnya yang sudah rontok termakan usia.
"Mau ke mana,
Mbak?" tanyanya sopan. Aku melepas airpodsku dan menoleh kepadanya.
"Ke
Tangerang, Pak, berkunjung ke keluarga bunda, sebelum nanti ke Jakarta menengok
makam bapak saya," jawabku sembari membersihkan kacamata yang mulai
berembun. Bapak itu tersenyum, lalu mengangguk dan melihat ke luar jendela.
"Jauh sekali
dari Surabaya ke Tangerang. Sendirian saja, Mbak?" Bapak itu kembali
melihat ke arahku, aku hanya tersenyum tipis dan mengiyakan, lalu dirinya
mengeluarkan dompetnya, menunjukkan foto dua anak lelaki yang sudah lusuh,
diujungnya robek seperti sisa terbakar. Mereka tampak berlarian di tepi kolam ikan
mas seraya memegang kail. Keduanya mengenakan kaos yang sedikit berlumurkan
lumpur. Terdapat sebuah nama di sana, Rangga dan Dipta.
"Keduanya
putra bapak?" Aku melihatnya, mengusap sudut lembar foto yang berdebu.
Menurutku wajar sekali seorang bapak yang usianya tidak lagi muda tiba-tiba
menceritakan hal mengenai keluarga ataupun orang terdekatnya.
"Bukan, anak tetangga." Mendengarnya membuatku berkedip beberapa kali, menunggu penjelasan lebih lanjut darinya. "Anak tetangga? Spesial sekali mereka," batinku.
"Dahulu
mereka yang selalu datang menemani bapak ketika bapak baru saja pindah ke
daerah Karawaci. Bapak ingat, setiap selesai memancing bersama, mereka membantu
bapak berjualan es limun dan meminta disisakan dua buah sebagai upah."
Kudengarkan dengan
saksama, sesekali menoleh pada train attendant yang berlalu lalang dengan aroma
makanan yang sedap.
"Jadi sebelum
pindah ke Karawaci, bapak tinggal sendiri?" tanyaku sembari menggosokkan
jemariku yang dingin. Bapak itu tersenyum dan mengangguk. Aku mencoba mengerti
dan tidak menanyakan lebih lanjut sebab tak ingin menyinggung perasaannya.
"Lusa sudah
lebaran, pasti mereka akan datang bersua ke rumah bapak, ya, Pak?" ujarku
sembari sesekali melirik pesan dari bunda yang masuk, menanyakan apakah aku
sudah membeli makanan untuk berbuka atau belum.
"Tidak, Nak,
mereka tidak mungkin datang kembali," ucap bapak itu seraya bersandar di
seat. "Mereka sudah menjadi abu."
Aku terperanjat
mendengarnya. "Menjadi abu? Apa maksudnya dikremasi?" ujarku dalam
hati. Mungkin bapak ini kembali ke Karawaci dengan niat yang sama sepertiku.
Tanpa sengaja,
pandanganku tertuju pada codet yang sedikit tampak dari ujung lengan kemeja
batik yang bapak itu kenakan, sementara di sekitarnya terdapat luka bakar yang
tidak begitu kentara. Entah mengapa aku merasa tidak nyaman, lalu beralih
melihat ke luar jendela. Mega merah tadi sudah pergi, menyisakan langit yang
mulai menggelap. Sebentar lagi memasuki stasiun berikutnya, Bapak di sebelahku
tiba-tiba berdiri dan mengambil dus di bagasi, lalu membukanya dan memberiku
satu botol limun rasa nanas. Selepasnya, ia kembali meletakkan dus pada bagasi.
"Buat Mbaknya,
ya, sebentar saya ke toilet dahulu." Bapak itu tersenyum tulus, aku
menerima sebuah botol limun yang bapak itu berikan, lalu dirinya turun begitu
sampai di stasiun yang ia tuju. Aku menghela napas, waktu berbuka puasa sudah
tiba. Aku memesan sup jagung manis dan satu cup kertas cokelat panas.
Begitu tiba di
stasiun selanjutnya, aku menikmati sup yang sudah kupesan. Seorang wanita paruh
baya dengan ID card bertuliskan Saras, lengkap dengan lanyard berwarna hitam
elegan dan berpenampilan seperti wanita karir yang beberapa kali kulihat di kawasan
SCBD. Di sampingnya, seorang balita lelaki dengan kaos Loney Toones duduk di
sebelahku. Aku mengernyitkan kening, mengingat bapak yang tadi belum kembali.
Tanpa pikir panjang, aku bertanya dengan sopan. Sedikit takut menyinggung,
namun penasaran.
"Permisi, Bu, apakah ibu benar duduk di seat ini? Saya hanya bertanya karena baru saja ada bapak-bapak yang menduduki seat ini dan belum kembali dari toilet."
Wanita bernama
Saras itu menunjukkan karcisnya sembari mengelus rambut putranya yang manis.
"Benar, saya memang duduk sini."
Kuletakkan sendok
supku dan hanya tersenyum menanggapinya. Apakah bapak tadi salah tempat duduk?
Aku pun kembali memakan supku seraya menatap ke luar jendela, lalu mengecek
pesan yang baru kudapat dari seseorang di masa lampau yang tak mau kusebut
Namanya. Tak lama berselang, Bu Saras menepuk pundakku dan menunjuk ke arah
botol limun yang kuselipkan di tas khusus makanan, kuletakkan tak jauh dariku.
Raut wajahnya tampak terkejut, sementara aku dibuat bingung olehnya. “Ada apa,
Bu?”
“Apakah saya boleh
melihat botol itu?”
Aku mengiyakan
permintaannya dan memberikan botol limun itu padanya. Dirinya menyipitkan mata
dan pandangannya mengarah pada tanggal kadaluwarsa di botol tersebut. Aku
mengikuti arah pandanganya sontak terkejut.
“Sewaktu kecil, bapak
saya pernah memberikan ini dan nanas itu rasa limun kesukaan saya. Bapak saya
dulu kerja di pabrik limun, bapak saya jarang pulang karena harus menyebrang
pulau. Tapi bapak saya selalu mengirim kabar bila ia tidak lagi kesepian di
sana.”
Desain pada botol
yang ia pegang memang tidak seperti desain umumnya pada masa kini. Di sana
terlihat seorang anak kecil berambut pirang nan sedang menengguk limun dari
botolnya dengan busana ala 1980-an.
“Hingga suatu saat kabar terakhir yang saya
dengar, pabriknya sudah terbakar dan bapak saya ikut menjadi korban setelah
berusaha menyelamatkan dua anak kecil yang katanya saat itu sebaya dengan saya,”
lanjutnya. Aku membeku, kuberanikan diri untuk menoleh pada bagasi kereta di
atasku. Tidak ada dus limun di sana, hanya koper berwarna lilac milikku.
“Oh ya, saya lupa
memperkenalkan diri. Saya Saras. Kalau boleh tahu, Anda mendapatkan ini dari
mana?” Pertanyaan dari Bu Saras membuatku menelan saliva.
“Senang bertemu
dan mendengar cerita dari Bu Saras. Saya Sera, baru saja ada seorang
bapak-bapak yang memberikan itu pada saya. Menariknya, ciri-ciri dari bapak itu
hampir sama dengan cerita Ibu,” terangku jujur. Bu Saras hanya tersenyum,
sementara anaknya memandangi kukis tiramisu di sebelahku. Aku tersenyum
canggung dan menawarkannya, ia tertawa kecil dan menerima kukis dariku dengan
tangan mungilnya.
“Mungkin bapak
saya sedang mampir,” gumam Bu Saras jelas. Aku mengangguk pelan, mengusap
wajahku lemas, cukup merinding karenanya. Kuberikan botol itu pada Bu Saras
saja, tak memiliki keberanian untuk membawanya pulang.
Perjalanan kali
ini terasa lebih panjang dari sebelumnya, aku terjaga semalaman dengan
pengalaman yang tak pernah kuduga sebelumnya. Kupandangi orang-orang dalam
kereta yang mulai terlelap. Degup jantungku masih tidak beraturan. Perlahan
kupaksakan untuk tidur dan merenungi kejadian hari ini. Mengambil hikmah yang
ada bahwa setiap momen dalam hidup berharga. Entah dengan siapa kita bertemu,
tentunya akan memiliki makna tersendiri nan dapat kita pelajari.