Dear, Neptunus

Dear, Neptunus.

Hai, Neptunus. Saat ini aku sedang menunggu seseorang di sebuah kafe yang dipenuhi warna putih dan biru laut pada bulan Juli, bulan kelahiranku. Omong-omong, aku mengenalmu melalui kisah Kugy dan Keenan dalam Perahu Kertas yang kini telah tiba pada pelabuhan terakhirnya. Kau menjadi penyampai pesanku melalui indahnya swastamita, meski hanya kemungkinan kecil 'tuk sampai padanya, pada seseorang yang kini telah jauh dan mungkin tak lagi mampu 'tuk kutatap netranya. Jika jejaknya masihlah bertahan, kenyataan yang ada hanyalah bayang tanpa jiwa yang tak mampu kurengkuh kembali.

Aku tak lagi bermimpi mengenai dirinya yang datang sembari tersenyum dan mengatakan bila aku hanya perlu merasa baik-baik saja, aku tak lagi melihatnya melintas di depan halte sekolah dengan jaket jeans maupun gelang merah sebagai ciri khasnya, aku pun tak mengetahui bagaimana dia saat ini karena radarku tenggelam oleh waktu. Rasa sepihak yang kupendam sendiri akhirnya tersampaikan melalui pesan tanpa nama, terlambat dan menyesakkan, meski setidaknya aku memperoleh balasan singkat darinya.

Kau pasti tahu, Nus, bagaimana rintik gerimis menemaniku di pinggir jendela kelas kala aku menulis tentangnya. Aroma petrikor yang menyeruak dan derap langkahnya menghampiri kelas masih saja terbayang tanpa alasan. Catatan harianku kian penuh akan coretan nama dan bait puisi yang berulang kali mengisi tiap lembarnya. Sketsa dirinya yang sempat kugambar juga foto yang berusaha kuambil diam-diam terbuang begitu saja, aku tak ingin menumpuk memori mengenainya lebih dalam lagi. Hari itu aku sadar bila aku tak dapat sealur dengannya. Aku tidak menyesal mengenalnya, karenanya penghujung masa putih biruku menjadi berwarna, sebelum nanti aku akan bercerita mengenai sosok lain yang mengisi cerita di masa yang katanya legendaris itu.

"Kenapa harus Arvie, Sera? Kamu tahu kan dia gimana. Buat apa kamu mikirin dia, udah lupain aja. Kalau aku nih ya, nggak bakal merekomendasikan dia ke kamu, Ser."

Dulu, seringkali pernyataan semacam itu mendesakku untuk melupakan. Aku tak tahu harus menjawab apa karena semua berawal dari mimpi. Sungguh, hanya mimpi. Dia datang tanpa diminta dan datang kembali malam berikutnya hingga aku tak dapat menghitung sudah berapa kali dia hadir. Dalam mimpi yang kuingat, ia membawakan lagu dan menggenggam jemariku dengan hangat atau menaiki kereta bersama dengan pemandangan yang cukup indah. Sebab mimpi yang meresahkan, aku mulai memperhatikannya dan merasakan sesuatu yang tidak biasa, seakan semesta menjadi sering mempertemukanku dengan dia. Salah satu sobat karibnya, Dayat, membuka tirai cerita yang begitu lebar di masa itu. Aku sering bercerita padamu mengenai Dayat, dia yang paling peka, Nus.

"He, aduh sopo yo jenenge arek iki. Eh, kamu yang menggambar Arvie? Ihir, benar kamu yang menggambar Arvie?" celotehnya dengan logat Surabaya seraya menikmati bekal sekolah begitu aku tiba di kelas dan teringat telah meninggalkan bukuku dengan gambar Arvie di meja. "Nggak," jawabku mencoba santai dan melenggang ke bangku dengan pipi yang terasa panas. Arvie berada di sana, kami sempat membuat kontak mata tanpa banyak bicara. Ketika itu aku tak sadar, Arvie akan menjadi sosok yang aku rindukan di masa sekarang.

"Ser, itu si Arvie." Masih terngiang kekehan Dayat dengan raut wajahnya yang jahil ketika ia hendak melakukan bulu tangkis dengan Arvie. Aku yang duduk tak jauh dari sana hanya menggeleng, sesaat kemudian Arvie bersuara. "Yat, ayo!" Arvie memanggil Dayat dan mereka kembali bermain bulu tangkis bersama. Kulihat Dani yang merupakan kawan keduanya menepi dari lapangan dan bergabung dengan teman lainnya. Kau juga pasti tahu jika Dani masih berkaitan dengan cerita ini, Nus.

Yang kutahu, Arvie berada dari keluarga berada, sementara aku biasa-biasa saja. Dia terkenal tampan dan pandai dalam bidang eksakta maupun olahraga. Di sela-sela waktu istirahat, aku sempat melihatnya memainkan gitar di lorong sekolah. Ketika pulang sekolah, begitu melewati lapangan, aku pun sering melihatnya bermain basket. Dalam biodata yang pernah dia tulis pada suatu makalah Bahasa Indonesia nan tak sengaja kutemui di perpustakaan sekolah, tertulis Arvie bercita-cita menjadi seorang pilot. Ingatanku melayang pada empat tahun lalu.

"Apa cita-cita kalian, Nak?"

"Mau hidup sukses, Bu Laila."

"Dicky mau jadi dokter hewan."

"Kalau Dona jadi tentara wanita, jadi model juga boleh. Haha."

"Kalau Arvie? Mau jadi apa kamu, Nak?"

"Jadi pilot, Bu."

Dia menjawab dengan mantap cita-citanya, aku yang menoleh ke bangku belakang melihatnya tersenyum. Lesung pipit Arvie tampak jelas di pipinya yang merona kemerahan dengan warna kuning langsat kulitnya. Tidak jarang banyak yang menaruh hati padanya, aku sudah paham ketika Fariha menceritakan sosok yang dia taksir kepadaku ketika Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, masa sebelum aku mengenal siapa Arvie sebenarnya.

"Dia yang mana, Far?" tanyaku sembari celingukan. "Oh, yang itu dia di tengah yang kamu maksud?" tebakku seraya menunjuk dengan dagu siapa yang Fariha maksud.

Gadis itu langsung menggeleng, "ih bukan Ser, tapi di sebelahnya yang pakai sepatu putih." Aku yang mendengarnya hanya mengangguk, bagiku Arvie sama saja dengan yang lain, tak terlihat spesial di mataku ketika itu.

Ketika pembagian kelas diumumkan, aku sedikit terperanjat dengan hasilnya, kemudian aku menghampiri Fariha, "Far, aku sekelas sama Arvie."

Beberapa minggu setelahnya Fariha telah menegaskan padaku bila Arvie bukanlah siapa yang mengisi ruangnya lagi, entah apa sebabnya. "Udah Ser, aku udah nggak mau bahas Arvie lagi."

Saat ini, Arvie telah menemukan seseorang yang telah membuatnya jatuh hati di masa putih abu-abu miliknya. Aku tak mengenalnya, tetapi seulas senyum dalam sebuah postingan yang kulihat tanpa meninggalkan jejak dan kata-kata yang dia lontarkan dalam komentar membuatku yakin, dia telah menemukan sosok yang berarti dalam masa remajanya kini setelah memutus hubungan dengan dara ayu di masa lampau yang kisahnya tak kutahu. Katanya, dia telah bahagia. Dirinya tampak lebih dewasa.

Nus, dia Arvie. Kau masih menyimpan kisahnya, bukan? Mulai dari kegiatan fashion, mural, hingga kegiatan pawai bersama. Aku ingat dengan tatapannya kala berdiri di panggung seraya memainkan gitar bersama Dayat sebagai vokalis dan Dani sebagai bass dalam pentas seni di sekolah kami. Jika kau mungkin bertanya seperti mereka, mengapa harus Arvie yang notabenya berbeda denganku dan tak mungkin diharapkan? Aku akan menjawab bila aku pun tak berharap Arvie akan membalas semua pesan atau berharap ia 'kan menjawab bagaimana dia dahulu datang ke mimpiku setiap malam. Tidak ada kalkulasi di sini. Yang kumengerti, kehadiran Arvie menyadarkanku jika manusia memiliki perannya masing-masing dan setiap peran tak dapat tergantikan oleh siapapun karena memiliki ruang khusus di hati.

Neptunus, yang kutahu, perasaan tak dapat dilawan dan tak bisa disalahkan. Ia datang tanpa diminta dan mampu berubah kapan saja. Benar, harapan kosong itu menyakitkan dan berjumpa angan di batas ketiadaan membuatnya lebih terkoyak.

Aku tak tahu, apakah awan mengizinkanku untuk menoreh kembali mimpi di semburat putihnya. Aku tak tahu, dapatkah desau angin mengirimkan kabar untuknya? Salahkah aku hingga semesta terkadang bergurau ketika diriku berbincang pada bintang? Ia mengatakan bahwa aku perlu memahami situasi, aku tak menyangkal bahwa aku hanyalah figuran dalam hidupnya. Seperti mendung, tapi tak menumpahkan bulir airnya. Bukan berarti apa, hanya pelangi nan tak kunjung jua meski sudah kunanti lama.

Pernah aku mendengar kabar jika Arvie akan pulang lebih cepat karena sakit. Aku telah berpisah kelas dengannya karena kenaikan kelas kala itu. Dengan harap cemas aku memikirkannya hingga bel istirahat. Aku mengira dia telah pulang, hanya saja ketika aku menaiki tangga, kulihat dia berada di balkon seorang diri. Perasaanku yang campur aduk memintaku segera berbelok untuk kembali ke kelas. Aku terduduk di bangku dekat jendela, tak kusangka tadi ia berjalan di belakangku dan kemudian berhenti di balkon depan kelasku sembari menatap lapangan yang dinaungi mendung. Aku dapat melihat punggungnya dengan jelas sebelum seorang kawanku menutup jendela dan menarik tirai berwarna jingga, membiarkanku untuk berpaling dari lelaki itu.

Aku tak dapat menemuinya sekarang, aku tak kuasa mengirimkan pesan secara langsung padanya karena kami tak pernah dekat, walau kami masih satu kota. Desas desus bila Arvie akan berpindah ke Jakarta setelah kelulusan untuk menyusul ibunya yang bekerja di sana akhirnya terpatahkan, aku berpikir masih ada peluang untuk bertemu, meski rupanya tidak juga karena kami beda sekolah. Hingga aku memutuskan untuk mengirimkan pesan anonim melalui event surat cinta online pada nuansa valentine yang akan dikirimkan melalui perantara admin. Awalnya aku berpikir bila ini keputusan yang membuatku merasa aneh. Untuk apa? Tetapi aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.

Nus, begini pesan yang kusampaikan padanya. Kau dapat membacanya di lembar yang kutulis sebelumnya.

Dear, Arvie.

Halo, apa kabarmu, teman?

Saya harap kamu baik-baik saja di sana serta bahagia dengan kisahmu di masa putih abu-abu yang katanya legendaris itu, ya. Sebenarnya ada banyak yang ingin saya utarakan, namun tak sempat tersampaikan dengan benar. Semenjak kamu tidak lagi hadir dalam mimpi dan semesta perlahan mendesak saya untuk melupakan, akhirnya saya sadar jika sebaiknya cerita lama itu cukup disimpan tanpa mengungkitnya kembali. Tentang rasa sepihak yang saya pendam sendiri maupun skenario palsu untuk menghibur diri. Saya pernah mengharap kamu membaca semua draf atau catatan harian saya mengenai kamu, tetapi itu hal terkonyol yang pernah saya bayangkan. Sampai saat ini pun, masih ada jejak kenangnya.

Oh ya, terima kasih sudah membuat hari-hari saya dulu lebih berwarna, meski realitasnya hanya saya yang merasa. Saya percaya kamu orang yang baik dan tegar menghadapi sesuatunya. Kini, saya masih berharap dapat bertemu seorang yang akan menjadi tokoh utama pada masa sekarang, walau tetap saja kamu memiliki special spot di hidup saya yang tak akan terganti karena setiap manusia memiliki peran dan kesannya sendiri. Mungkin cukup sekian, selebihnya saya titipkan salam melalui angin malam. Sampai jumpa di lain kisah, teman. Jaga baik dirimu ya, Vie, Tuhan menyertaimu selalu.

From,

Anonymous.

Aku sudah memberitahumu balasan dari Arvie bagaimana kan, Nus. Mungkin itu surat pertama dan terakhir yang kutulis untuknya, sengaja aku menggunakan bahasa yang formal karena terinspirasi dengan sosok 'Maya' dalam komik berjudul 'Zona Maya' yang aku suka. Kalau kau lupa bagaimana balasan yang kuceritakan saat itu, aku dapat menuliskannya kembali untukmu suatu, Nus.

Entahlah, rasanya membingungkan. Setelah sekian lama lelah hati tersiksa. Sepihak merupakan kata yang paling mewakili. Dua tahun tak kunjung temu. Yang terpenting aku dapat menyapanya melalui doa.

Lain kali aku cerita lagi ya, Nus, aku harap yang kutuliskan berikutnya merupakan kabar bahagia. Siang ini kuakhiri sampai sini, Radi sudah datang setelah sekian lama aku menunggunya di kafe Biru dan Kopi ini.

Salam sayang untuk Nus,

Serancia si agen baru Neptunus.

•••

Kulihat Radi memarkirkan sepedanya dari balik kaca jendela, di keranjang sepeda terdapat seikat bunga bakung putih yang cantik dan terlihat segar terkena tetesan hujan. Radi mengambil ikatan bunga itu sebentar dan kembali ditaruhnya di keranjang. Raut wajahnya menampakkan cemas, namun ia kembali berjalan memasuki kafe. Kuletakkan ponsel yang sedari tadi kugunakan untuk mengetik, lalu menyapanya begitu dia duduk di hadapanku.

"Eh, sorry telat. Fian minta aku buat bantu jadi tim dokumentasi di acara pekan karya tadi, dadakan banget emang tuh bocah kalau ngasih kerjaan. Kamu gapapa?" Radi menyugar rambut ikalnya yang sedikit basah, lalu meletakkan tas berisikan kamera di meja. Aku mengangguk mengerti.

"Aku gapapa kok, Rad, santai aja. Kamu kehujanan?" tanyaku kepada Radi. Yang ditanya hanya meringis.

"Cuma gerimis. Jadi, kita ke toko buku sekarang? Aku udah nggak sabar mau beli komik terbaru, nih. Baca online aja nggak cukup anjrit, enakan juga baca langsung." Radi tampak antusias, aku tertawa kecil melihatnya.

"Aku pesankan minuman hangat dulu, ya. Aku nggak mau repot kalau kamu sakit sekarang," ucapku seraya berdiri dari bangku. Radi menahan lenganku, kemudian beranjak dari kursinya.

"Biar aku yang pesan sendiri aja. Toko bukunya dekat dari sini, kan? Kalau jauh, aku balik." Pertanyaan Radi hanya kubalas dengan anggukan dan tawa yang kupaksakan. Dia pun melenggang dan mulai memesan.

Perhatianku justru teralih pada gerimis di luar yang semakin lama menderas, banyak pengendara yang menepi. Suasana ini memutar kenangan lama, aku pun teringat dengan Arvie saat dia tiba-tiba menengadahkan tangan untuk mencapai rintik gerimis di balkon depan kelas. Aku yang berada di sampingnya hanya dapat melihat senyumnya sekilas dan berpindah tempat sebab degup jantung yang berpacu lebih cepat.

Beberapa menit berlalu, Radi justru datang dengan dua cokelat hangat di tangannya. Aku berkata jika aku sudah meminum secangkir kopi susu, tetapi Radi tetap memberikannya untukku. Aku hanya menerimanya dan membiarkan minuman itu mendingin sebelum aku meminumnya nanti.

"Ser, ini file behind the scene yang kamu minta, kalau udah kabarin, jangan ilang." Radi memberikanku sebuah flashdisk. Aku pun berterima kasih padanya dan tetap berusaha untuk bersikap ramah. "Siapa juga yang mau ngilangin?"

Jika dipikir kembali, Radi mirip dengan salah satu karakter dalam komik faforitku, terlebih kala dia memakai hoodie hitam dan topi miliknya, walau sebenarnya yang mirip hanya namanya saja. Aku mengenalnya untuk pertama kali dalam klub sinematografi di SMA kami. Dia tipe orang yang aktif di twitter dan random dengan candaannya. Setiap akhir pekan, Radi biasa mengajakku jalan untuk sekadar menghirup angin segar. Terkadang terbesit dalam benakku bila Radi dapat menjadi seseorang yang akan berarti seperti dirinya, tentunya takut akan kehilangan itu datang kembali sehingga aku mengingkari pemikiran semacam itu, terlebih Radi dikabarkan dekat dengan Amara, salah satu perempuan tercantik di sekolah yang juga satu jurusan dengan kami.

Radi mengajakku untuk berjalan di tepi trotoar saja karena jarak yang tidak terlalu jauh, sementara sepedanya akan tetap diparkir di kafe Biru dan Kopi. Tumben dia menaiki sepeda pancal, biasanya juga menaiki motor seperti teman yang lain.

"Yuk, Ser, gerimisnya kelihatan awet tuh, biar sepedanya diparkir di sini." ajak Radi. Aku mengiyakan ajakannya. "Atau mau coba sensasi baru naik sepeda sambil hujan-hujan?"

"Nice idea tuh, Rad!" kataku yakin. Radi justru mengernyitkan kening, lalu menggeleng. "Buset dah, kamu kira drama korea? Iya, tahu kalau aku ganteng." Radi menyisir rambut dengan jemarinya.

"Yee, banyak gaya."

Setelahnya kami ke luar kafe, seketika hawa dingin menusuk tengkukku. Entah Radi sadar atau tidak, ia menggandeng jemariku ketika kami berjalan sejajar. Sepanjang perjalanan kami hanya diam karena mengobrol pun suara akan tenggelam oleh hujan yang menderas. Kuperhatikan pandangan yang Radi fokus ke depan, begitu dia menoleh dan mata kami bertemu, aku buru-buru mengalihkan pandangan. Radi juga tak lagi menggandeng jemariku, mungkin dia baru tersadar dengan tindakannya itu.

"Sorry Ser, nggak sadar, hehe." Radi mencoba mencairkan suasana, aku menarik napas panjang. "Penting kamu nggak gandeng orang gila, Rad." Radi yang mendengar jawabanku menatapku tajam, lalu tertawa. Aku menepuk pundaknya pelan seraya ikut tertawa kecil.

Begitu sampai di toko buku, kami berpisah untuk mencari buku masing-masing. Aku menuju rak novel teenlit, sementara Radi menuju rak komik. Suara gemerincing dari bel refleks membuatku mengintip dari celah rak untuk melihat pembeli yang datang. Mulanya aku tak begitu memperhatikan, tetapi sosok yang berada di sana terasa familiar. Perempuan sebayaku dengan paras yang cantik tengah berjalan ke arah rak yang sama. Rambutnya tergerai sebahu dengan bandana yang membuatnya semakin anggun. Aku membelakanginya seraya sok sibuk memilih novel. Saking gugupnya, dua novel yang tak sengaja kusenggol akhirnya terjatuh dan mau tak mau aku harus memungutnya. Derap langkah cepat dan suara yang kudengar kemudian membuatku membeku.

"Meisha." Suara lelaki yang amat kukenal membuatku tertegun. Aku belum pindah dari tempat dan membaca sembarang sinopsis untuk memilih novel yang kubeli.

"Tumben amat ke toko buku, biasanya cuma ngajak lunch atau palingan nyari zuppa soup faforit kamu itu."

"Hm, ada rekomen novel dari temen, pengin coba baca. Nggak begitu tertarik sih, tapi tuh sampul novelnya lucu juga," jawab perempuan yang dipanggil Misha itu. Tak lama setelahnya kudengar nada dering dari sebuah ponsel.

"Oh, kalau gitu aku tunggu di luar aja ya, cantik. Jangan kelamaan buat aku nunggu."

Arvie meninggalkan tempat, aku menguatkan hati untuk tidak menoleh ke belakang dan berniat untuk menghampiri Radi. Namun belum jauh aku melangkah, Radi sudah berjalan duluan dan mendekat ke arahku dengan membawa sebuah komik yang masih dibalut rapi dengan plastik. Aku menunduk seraya membawa novel yang kupilih secara acak. Tak kusangka Radi mengacak rambutku pelan, lalu tersenyum.

"Udah? Mau balik sekarang Omong-omong, Ser, makasih udah mau nemenin aku buat nyari komik."

Aku mendongak, melihat ke arah lelaki dengan tinggi 178 cm itu dan tersenyum getir. "Sesuai janjiku sepulang sekolah kemarin, kan, Rad?"

"Iya, itu pinter." Radi menarik napas panjang, kemudian kembali mengacak rambutku sembari terkekeh.

"Apaan sih, orang mood aku lagi nggak-" ucapanku terhenti ketika kulihat Misha telah berada di kasir dan tak lama ke luar toko. Aku pun menjauhi Radi dan bergegas membayar novel yang sudah kupilih. Tak kuhiraukan panggilan Radi, bahkan aku menepis tangannya yang tadi hendak mencegahku pergi.

Kubuka pintu, angin bertiup cukup kencang meniup rambutku hingga membuatnya berantakan. Hujan mereda. Tak jauh dari sana, kudapati Arvie tengah mengenakan kaos hitam dengan celana pendek berwarna cokelat susu. Tampak keduanya berbicara, bahkan Arvie menyelipkan helai rambut Meisha di balik telinga gadis itu dan membawakan payung transparan untuknya. Diriku mematung tak jauh dari sana, tanpa sengaja ia menoleh ke arahku. Mata kami berpapasan dan aku pun tersenyum padanya serta tergerak untuk melambaikan tangan dengan kaku, dirinya membalas melalui senyuman tipis, lalu mereka meninggalkan lokasi.

Benar, dia tampak lebih dewasa. Mobil berwarna putih dengan plat B pun melaju dan menghilang di tikungan. Kupeluk novel yang baru saja kubeli dengan erat. Bulir kristal yang terasa hangat merembas ke pipi. Setidaknya aku dapat melihat Arvie setelah lama tidak bertemu. Sayup-sayup kudengar alunan lagu Wish oleh Choi Yu Ree yang diputar dengan speaker dari toko elektronik, seolah semesta sedang berupaya mendramatisir suasana. Masih berdiri, pandanganku hanya tertuju pada genangan air yang memantulkan wajahku dengan samar.

Radi menyusul dan mendekat di sampingku. "Ser, kalau gerimisnya udah-"

"Aku ikut, Rad. Kamu mau ajak aku ke mana? Kita mau beli es krim terus keliling kota atau nemenin kamu ambil footage atau apalah itu juga aku nggak keberatan," kataku lirih.

"Jangan pergi, Rad. Aku nggak mau kehilangan lagi." Suaraku parau, Radi tak merespon kalimatku hingga beberapa detik. Ia menghela napas berat, kemudian menjauh dariku dan menegadahkan tangan ke depan untuk merasakan dinginnya rintik hujan.

"Kamu mikir apa, sih? Kesambet hujan sore-sore?" Radi terkekeh hambar seraya menyapu pandangannya ke jalan. "Aku bakal pergi Ser, tapi nggak tahu kapan pastinya karena pertemuan kita juga nggak abadi. Enaknya pindah ke Mars atau dunia lain, ya? Menurut kamu yang mana?" Radi memulai candaan garingnya. Aku bisa saja menimpuk punggungnya memakai novel, kali ini aku tak kuasa melakukannya dan memilih diam.

Radi beralih menghadapku. Tatapannya terasa berbeda. Aku meneguk saliva, tiba-tiba merasa gugup. Tangan kanannya seolah hendak mengusap bekas air mataku, namun diurungkannya niat itu. Bibirnya seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan untuk beberapa waktu. Pertanyaan yang keluar dari mulutnya sukses menumpahkan setetes air mata yang kutahan sedari tadi.

"Dia, Arvie?"

"Eh, maksud kamu, Rad?"

"Dia Arvie kan, Ser? Fian bilang ada seseorang yang sering kamu tulis di buku harian kamu, dia tahu itu nggak sengaja waktu nemuin buku kamu di perpustakaan sekolahmu dulu," terang Radi. Aku yang mendengarnya setengah tak percaya bila Fian akan mengatakan kisah lama itu pada Radi. "Aku nggak tahu siapa Dayat ataupun Dani yang Fian sebut waktu itu. Aku juga nggak kenal siapa Arvie."

"Fian" gumamku pelan.

Hening. Lidahku kelu untuk menjawab Radi. Yang kulakukan hanya menggigit bagian bawah bibirku. Radi membuatku bingung dengan pernyataannya. Mengapa dia harus membahas Arvie? Sementara itu, aku mulai perhatikan pedagang es krim yang sedang berteduh di ruko kosong. Seorang pria tua tengah duduk di lantai tanpa alas. Aku merasa iba dengannya.

"Sebegitu berartinya dia buat kamu, ya? Padahal dia nggak pernah balas perasaanmu selama ini."

"Radi, kamu tahu apa? Kenapa ngungkit cerita yang nggak perlu dibahas lagi?" Aku mulai terisak, tak tahu harus menjawab apa. Mungkin saja menyinggung perasaannya sehingga merasa sedikit menyesal. Radi tak menjawabku, aku berharap Radi akan mengeluarkan guyonan garingnya lagi, nyatanya tidak.

Tatapan Radi terlihat sayu, dengan perlahan ia mendekapku dalam peluknya. Aku terkejut bukan main, aroma parfum semangka tercium olehku, aku tak pernah berpikir Radi sewangi ini.

"Aku juga pernah kehilangan, kami nggak bakal bisa ketemu lagi karena dia udah bahagia di sana, bahagia setelah koma." Bisikan Radi terhenti sejenak sebelum dirinya kembali berbicara. "Lalu, apa aku juga bisa mendapat ruang di hidupmu, Ser?"

Tak kumengerti maksud Radi, lelaki itu tak menunjukkan sikap seperti biasanya. Selang beberapa saat, Radi melepas rengkuhannya dengan hati-hati, lalu mengalihkan pandangan dan berdeham pelan sembari mengusap tengkuknya. Aku paham situasi, Radi mencari cara untuk mencairkan suasana canggung di antara kami. Sekujur badanku  berkeringat dingin, merasa bodoh dengan apa yang kulakukan sekarang. Radi pernah terluka, jauh lebih terluka. Apa jangan-jangan ikatan bunga itu ada hubungannya dengan apa yang Radi maksud? Aku tak berniat untuk menanyakannya saat ini.

"Rad." Tenggorokanku tercekat, napasku terasa sesak. Radi mengangguk, kemudian tersenyum.

"Aku juga minta maaf, Ser, udah buat pikiranmu tambah runyam. Sekarang, kita beli es krim aja yuk, ada es krim yang bakal buat kamu bahagia."

"Es krim yang buat aku bahagia? Mana ada, Radi? Lagian habis hujan-hujan gini, kamu nggak dingin?" tanyaku seraya mengernyitkan kening.

Radi tertawa dan memintaku untuk mengikutinya menuju penjual tukang es krim. "Sekalian bantu kakek penjualnya."

Dirinya memesan dua cone es krim yang katanya dapat membuat bahagia. Pria tua itu melayaninya dengan menyendok es krim rasa stroberi. Aku menyikut lengan Radi seraya menahan tawa. Radi hanya memakan es krim dengan santai.

"Seharusnya kamu ajak Amara, dia pasti senang tuh kalau kamu belikan es krim yang bikin dia bahagia juga," kataku dengan senyum lebar. "Eh kok," gumamku setelah sadar apa yang kukatakan, Radi pun berhenti memakan es krimnya.

"Amara? Amara bisa makan es krim bareng yang lain, kan?" ujar Radi dengan nada datar sembari mengusap ujung bibirku yang sedikit belepotan es krim. Sepertinya wajahku sudah semerah kepiting rebus.

"Sera, kemarin aku membaca komik. Katanya, jika ada satu pintu yang tertutup, mungkin apa yang ada di balik pintu itu tidak ditakdirkan untuk menjadi milikmu atau kamu ditakdirkan untuk bersama dengan yang lebih baik. Setiap orang yang hadir memiliki perannya masing-masing."

Radi tersenyum simpul, kemudian dia memakan es krimnya dan melihat jalanan yang kembali ramai karena hujan telah reda. Kini, aku yang tampak merenung sembari memandang suasana kota dengan tatapan kosong. Radi mengeluarkan kamera mirrorless miliknya, kemudian mengambil gambarku tanpa izin. Aku sempat kesal, tetapi saat melihat senyum Radi kembali cerah, aku hanya tertawa dan mencubit pinggangnya dengan cukup keras.

Arvie bagian dari sebuah cerita, begitu pula dengan Radi. Benar kata Radi dan aku percaya, seseorang yang hadir dalam hidup kita tidak akan dapat tergantikan oleh siapapun. Begitulah, Neptunus, akhirnya aku dapat melihat Arvie kembali dan tak kusangka Radi memberikan penutup kisah yang terasa manis. Yang menjadi pertanyaanku sekarang, untuk apa Radi membawa bunga bakung dan apa maksud perkataannya tadi? Sudahlah, aku tak berniat untuk menanyakannya, bisa jadi Radi hanya diberi pesan oleh kakak atau ibunya untuk membeli bunga itu. Tanpa sadar aku berharap agar Radi baik-baik saja.

"I hope to meet you again in another universe, Radi."

-The End-


Postingan Populer