Allen

"Allen?"

Kuberhenti dari lamunan, kembali menatap skenario yang tergeletak di meja kecil bervas lili. Valeska mengembalikan kesadaranku, entah mengapa aku sering bengong akhir-akhir ini. Yah, tepatnya ketika aku membuat projek film pendek di sebuah komplek sepi juga terdapat pohon tua di tepi sungai. Kini lelaki itu meraih rambutku dan mengacaknya hingga tak karuan. Ia tersenyum, memberiku air mineral, dan menanyakan keadaanku. Jelas aku berbohong, aku tak ingin temanku yang lain ikut merasakan hawa negatif dari tempat ini, mengingat lelaki bercodet mengerikan yang memberiku undangan pesta.

"Kau tak apa?"

"Tentu. Kita lanjut ke babak selanjutnya, pengumpulan terakhir minggu depan," ucapku datar. Valeska mengangguk, aku kembali menjadi sutradara sekarang, memimpin jalannya alur agar sesuai dengan naskah yang kubuat. Tanpa kusadari, jingga telah ditelan gelap. Kami bergegas pulang. Valeska berniat makan malam denganku, tapi aku menolak. Ada janji yang harus kutepati. Dirinya sedikit memaksa agar aku dapat makan malam dengannya, tapi aku berhasil membuatnya tersudut dan menyerah. Sangat disayangkan memang.

Aku cukup merapikan rambut dan memberi aroma parfum semangka. Penampilanku malam ini tidaklah buruk, aku telah memilih pakaian yang pas dengan balutan gaun merah muda. Sebuah kado berisi diary baru berada di pelukku. Dengan degup hati, aku mengetuk pintu panti asuhan yang katanya pernah terbakar beberapa tahun silam. Seorang lelaki bertubuh pucat menyambutku. Aneh, ia hanya memiliki 4 jari dengan kuku panjang yang dingin ketika bersalaman denganku.

"Di mana pestanya?" 

"..." 

Dia diam, menatapku tajam dan itu membuatku terbatuk kecil. Kucermati foto anak-anak panti yang bahagia. Rupanya Rigel mengalami pendarahan di keningnya sewaktu kecil sehingga ia harus dijahit. Tunggu sebentar, mengapa hal setragis itu harus dipajang? Aku tak habis pikir dan mulai memanggilnya. Beberapa anak panti pun menuruni tangga, menyambutku dan beberapa memelukku. Tak ada Rigel di sana, tak lama setelahnya... patung badut bergigi taring itu hidup dan mengacaukan suasana. Badut itu memperagakan sirkus menyeramkan, menarik bibirnya hingga  robek lebar di ujung mata. Bola matanya memutih serta mengeluarkan laba-laba yang lalu menggigit pipinya dan membentuk bercak merah. Mereka tertawa keras, membuat telingaku berdenging. Aku berlari  ke arah pintu, meninggalkan kado untuk Rigel di lantai. Siku dan pergelangan tanganku tergores. Lampu padam dan aku mencium bau anyir dari arah belakang.

"Mau ke mana? Hidangan pertama sudah kusiapkan, Nona," kata wanita bertubuh gemuk dengan leher yang berlipat-lipat oleh lemak. Ia memegang lilin, aku mengatupkan bibirku rapat-rapat ketika tahu apa isi sup itu. Ya, ceker manusia yang telah dibumbui ala kadarnya. Tak tahan, aku merasa gila mendadak. Kudobrak pintu dengan napas terengah-engah. Pria cebol menatapku. Dia membawa merpati yang cantik, sempat aku terpesona oleh merpatinya.. namun yang tak kusangka, dia memakan merpati itu hidup-hidup dan mengeluarkan bulunya bersama dengan air liur bercampur darah yang sedikit terciprat di gaunku. Aku berlari seraya menjerit histeris. Apa ini? Lelucon gila yang dibuat oleh orang-orang tak waras? 

Aku terkapar di jalananan, sepi memang.. tak ada satu pun kendaraan yang lewat di kompleks. Aku sungguh menyesal telah menolak ajakan Valeska. Sekilas aku melihat wanita mengintip dari balik jendela lantai dua. Aku terkekeh hambar mengetahui hanya wanita itu yang satu-satunya menghidupkan lampu di rumah.  Dia kembali menyibakkan tirai sehingga aku  hanya dapat melihat bayangannya. Sebelum bangkit, aku terduduk lemas sebentar. Suara bel sepeda terdengar, sepeda rongsok lewat sekilas, tanpa ada yang menumpangi. Kutahan napasku agar tak berteriak seperti tadi. Rigel datang, codetnya semakin mengerikan ketika malam. Ia memberikan uluran tangannya padaku. Aku menurut saja, kami berjalan menuju tepi sungai. Umurnya baru 9 tahun, tetapi raut wajahnya terlihat dewasa. 

"Kau terlihat cantik malam ini."

"Apa? Cantik? Apa kau tak lihat menyedihkannya diriku?" 

"Terima kasih untuk kadonya, tapi itu tak cukup untuk membayar sewa."

"Sewa? Apa yang kau maksud?"

"Ya, kau pasti paham."

Kuteguk saliva kasar. Rigel tersenyum, dia menggigit bawah bibirnya hingga berdarah sebelum melayang ke pohon tua dan menceburkan diri ke sungai. Hujan, rambutku yang semula rapi berubah lepek dan basah. Kurogoh ponsel di tas, tapi lowbat. Aku tak percaya dan mulai menitikkan air mata. Ku berjalan lunglai, terpaksa kembali ke panti asuhan sebab mobilku berada di sana. Begitu aku menaiki mobil, suara dua anak kecil bercakap-cakap terdengar. Aku menoleh ke belakang, tapi tak ada. Ketika aku menengok kaca spion, badut itu datang kembali dari kejauhan. Dia melompat menghampiriku dengan tatapan menakutkan sambil membawa palu. Aku cepat mengemudikan mobil dan menjauh darinya. 

Berhasil keluar dari kompleks, aku merasa lebih tenang. Perempatan jalan sepi, sepertinya sudah larut malam. Lampu merah terasa begitu lama. Bodohnya aku, angka yang terpampang tak menunjukkan kemajuan. Masih berada di angka 13 dan tak berkurang. Aku kembali melajukan mobil. Mampus, seorang wanita berpayung merah menyebrang jalan. Untung saja aku tak menabraknya, tapi mengapa wajahnya retak semua dengan leher terkoyak? Dia terpaku di tempat, aku bergidik ngeri. Kucoba menghindar darinya, tapi dia justru merobohkan dirinya di jendela kaca sebelahku. Bekas darahnya masih ada, tapi tubuhnya perlahan jatuh ke jalanan dengan lambat. Aku menarik napas dalam, mencoba tenang meski rasanya ingin muntah. Sesampainya di rumah, aku mandi air hangat dan tidur sembari menutupi tubuhku dengan selimut tebal. Denging telingaku kembali terdengar, aku mengabaikannya dan mencoba tidur meski pikiranku dipenuhi oleh lagu pembawa tidur yang mengerikan.
_________

Valeska menjemputku untuk syuting, aku berbicara dengannya mengenai semalam. Begitu mudahnya ia percaya padaku, dia menuruti perintahku untuk pindah lokasi. Teman-teman yang lain pun menurut saja tanpa beban. Ketika aku duduk di kursi kesayangan sambil membawa corong layaknya sutradara, aku merasakan ada yang aneh dengan hawa sekitarku. Firasatku tak baik, ada yang menusuk relung hatiku. Benar saja, aku terperanjat ketika Valeska berteriak keras sambil mengibaskan tanganya. Beberapa kawanku ikut memadamkan api di rambutnya yang terbakar. Sayang, api itu menjalar dan membuat tubuhnya hangus. Kupejamkan mata. Sekilas, bayangan Rigel tertawa puas di sudut ruangan dan itu membuatku muak.

Kubakar naskah gilaku. Bukan naskah yang kugunakan untuk projek film pendek ini, melainkan naskah yang kubuat sendiri untuk menghibur diri. Aku tertawa sadis sebelum akhirnya pingsan dan petugas kesehatan akan menjemputku.

-The End-

Postingan Populer