Davis
Davis duduk di meja makan dengan pandangan kosong. Ann, ibunya, memakaikan topi ulang tahun untuk dirinya serta membenahi kancing Davis agar terlihat lebih rapi. Sore itu mereka hanya berdua di rumah, ayah Davis bekerja untuk kepentingan penerbangan dan tak kembali setelah beberapa tahun terakhir. Ann sibuk menghias kue untuk Davis. Lelaki berusia 17 tahun itu memasang wajah masam, memandang foto keluarga dan masa kecilnya yang terpampang di dinding. Ann memberlakukan ia layaknya anak kecil ... tak seperti biasanya, Davis pun merasa ada yang berbeda semenjak ibunya pulang dari Canada minggu lalu. Ann senang merokok, tak seperti ibunya yang dulu. Wanita itu sering bepergian kala malam dan mengundang teman-temannya untuk berpesta sederhana atau sekadar menghidangkan spaghetty dengan soda. Kini Davis mengepalkan tangan, lalu meredam diri sebisanya. Ia merasa dibodohi.
"Davis, kue untukmu," kata Ann sembari tersenyum sumringah. Davis membisu, ia sedikit merasa kesakitan ketika topi ulang tahun itu seolah mencekik lehernya. "Kau tahu, ayahmu belum kembali. Kuharap ia dapat melihat dirimu yang sekarang."
Mendengar perkataan Ann, Davis menatap Ann tajam. Yang ditatap hanya tersenyum miring seraya menghisap cerutu andalannya. Davis terdiam, ia tak mengindahkan kue di hadapannya. Ia berdiri, kemudian berjalan ke kamarnya di lantai atas seraya meletakkan topi ulang tahunnya di meja.
"Kuharap kau memakannya nanti," gumam Ann. Asap cerutu mengepul dari mulutnya.
Davis menutup pintu rapat-rapat, lalu menguncinya. Napasnya menjadi tak beraturan, dugaannya serasa tepat.
Tak lama berselang, suara serak lelaki dan tawa wanita dewasa memenuhi seisi rumah. Davis mengintip dari ujung tangga, Ann sempat meliriknya, kemudian Davis kembali ke kamar. Disambarnya jaket jeans faforitnya, mengambil ransel, dan mengisinya dengan beberapa barang berharga seperti ponsel, komik, pisau kecil, beberapa kaos, kartu, juga uang simpanan. Davis bertekad melompat dari jendela kamar, namun masih aman untuk dirinya yang memiliki tubuh tinggi sebagai pemain basket. Ia mengendap menuju garasi, mengambil sepeda miliknya, dan pergi ke rumah Bibi Karen.
Bibi Karen tengah berkebun dengan Gery. Keduanya terkejut dengan kehadiran Davis yang mendadak.
"Kau tak apa?" tanya Bibi Karen.
"Bolehkah aku menginap? Ada yang tidak beres dengan Mom."
Bibi Karen terbengong, Gery memilih bungkam.
"Bukankah ibumu telah tiada, Davis? Ia langsung dimakamkan di Canada, tempat tinggal kakekmu. Kau tak hadir sebab menangis seharian kala itu."
Lelaki itu menunduk, meminta maaf sebab pikirannya kacau seraya menitikkan air mata, ia bahkan menganggap dirinya mengidap halusinasi. Davis pulang, tetapi pikirannya masih melayang, "lalu orang-orang yang hadir di rumah itu siapa?" Dengan bimbang, ia memasukkan sepeda ke garasi sebelum masuk ke rumahnya. Bulu kuduknya merinding begitu membuka pintu. Kosong, jadi dugaannya benar. Namun, di sofa ruang keluarga, seorang wanita tengah terduduk lemas. Ada luka di bagian kepala, wanita itu menunduk, sedikit terisak. Lampu utama mati, hanya lampu berwarna kuning yang menyala. Davis merasa was-was. Ia menunduk untuk berjalan ke kamar, tak berani pula kembali ke Bibi Karen sebab merasa malu dengan dirinya sendiri. Sayangnya waktu panggilan dari Gery tidaklah tepat, benar-benar membuatnya terperanjat. Jantungnya serasa merosot ke perut. Davis bersembunyi di sudut kursi ruangan, di balik kursi besar yang sering diduduki oleh ayahnya dulu.
Ia membekap mulutnya sendiri, segera mengheningkan ponsel, dan berdoa dalam hati. Di luar hujan, penerangan minim, ditambah isak tangis seorang wanita yang memilukan. Seharusnya ia mengajak Gery atau menginap sementara di rumah bibinya serta mengabaikan rasa malu yang ada.
Entah kekuatan dari mana, kursi yang beberapa menit terakhir berhasil menyembunyikannya, akhirnya bergeser sendiri. Davis yang masih terpejam tak menyadari kehadiran wanita di depannya tengah menatap sadis dengan rambut acak-acakan. Davis tidak bodoh, ia meraba tasnya dengan berhati-hati tanpa melihat sosok mengerikan di hadapannya. Ia meraih pisau kecil, kemudian menggoreskannya ke wajah si wanita hingga memberi bekas merah di pisaunya. Davis berlari ke arah pintu, membukanya, sayang nihil. Ia mengambil kerikil di vas bunga kaca, lalu memecahkan jendela kaca tipis di ruang depan. Wanita itu tak tinggal diam, ia balik menggores dagu Davis dengan kuku panjangnya. Ia berusaha menyeret Davis ke loteng. Wanita itu tak memiliki pergelangan tangan kanannya.
Penuh dengan aura buruk dan napasnya seperti susu basi. Suara burung di luar membuat Davis semakin ngeri.
"Jadi, kau sudah tahu?"
Davis pasrah, ia kini berharap Gery menelpon dan datang ke rumahnya.
"Apa maumu?" tanya Davis sedikit kewalahan. Ia ingin pingsan, tetapi tak bisa.
Nasib berpihak pada Davis, Gery datang dengan tergopoh. Tubuhnya basah kuyup, ia mendobrak pintu dan menendang wanita yang entah mengapa terlihat lebih tua dari sebelumnya sebelum kedatangan Gery. Davis berlari bersama Gery dengan cepat untuk keluar. Ada Bibi Karen menanti di mobil Jeep. Keduanya memiliki rasa yang terhubung dengan Davis.
Seketika Davis tenang, namun begitu melihat kepala Bibi Karen yang berputar 180°, Davis pingsan dan tak sadarkan diri.
***
Mimpi buruk Davis membuatnya tak nafsu makan hingga berhari-hari. Ia tak mau melihat wajah ibunya. Ann yang sesungguhnya perlu memanggil ahli untuk menerapi Davis. Lelaki itu selalu menolak, sebab ia akan bermimpi lebih buruk ketika dihipnotis. Tetapi, Davis berusaha mengontrol dirinya agar tidak berlanjut. Di luar jendela kamarnya, setelah Ann memberikan obat penenang di meja kamar, ada wanita mengintip sembari tersenyum samar. Giginya bertaring dan wajahnya persis di mimpi buruk Davis. Setiap malam, derap langkah misterius di kamarnya sukses membuatnya depresi, sementara Ann berusaha mati-matian untuk menyakinkan Davis bahwa semua itu tidaklah nyata. Begitu saja terus hingga otak frontal Davis berkembang sempurna, yaitu ketika ia berumur 25 tahun dan ibunya bukanlah lagi sosok mengerikan seperti dahulu, meski bayangan itu mengendap dan berpindah ke ruang kerja miliknya.
-The End-