[Edisi Domba Putih - Empat Tahun, Ke!]
Hari Sabtu di awal bulan Februari, gue datang ke ekstrakurikuler sinematografi dengan memakai pakaian RATU alias oRA TUku, nyokap gue merekomendasikan untuk pakai kaos bergaris yang bagian bawahnya berkaret kayak balon itu. Gue agak nggak percaya diri karena dulu waktu lagi jalan bareng teman dan dia rekam gue, tuh kaos kayak mau mau ngebawa gue terbang alias kegedean di badan. Dengan pertimbangan seribu kali, akhirnya gue jadi putuskan pakai dengan alasan kata nyokap itu kaos modelnya cantik.
Di ekstrakurikuler gue saat ini, gue punya doi satu jurusan yang kelasnya sebelahan sama gue. Dia nggak cuma masuk sinematografi, tetapi juga gabung ke bagian jurnalistik karena dia hobi mengabadikan gambar. Dia tipe orang yang kadang cengengesan nggak jelas, suka main nyindir politik, dan mengoleksi beragam meme. Meski begitu, si doi juga berbaik hati mentraktir temen-temen gue dan ngehibur dengan candaannya yang random. Kadang dia bisa terlihat dewasa dan lebih berwawasan daripada gue. Salah satu persamaan kami adalah suka baca komik. Panggil aja dia Reyhan.
Singkat cerita, gue sudah datang di kelas dan menanti kehadiran temen-temen gue yang lain sambil nulis absen di lembaran presensi. Ketika gue dateng, kelas masih sepi, nggak seperti ekstrakurikuler paskib di lapangan yang udah kayak ngatur strategi formasi perang. Begitu gue lagi bahas konsep untuk lomba film pendek mengenai pariwisata kota bareng ketua dan teman-teman gue yang lain karena pembina lagi nggak bisa hadir, Reyhan datang dan duduk di bangku depan gue sambil memainkan ponselnya. Gue cuma pura-pura sibuk nyari ide dan menanti suara Reyhan yang lama nggak gue dengar karena sudah dua kali pertemuan ekstrakurikuler ini gue nggak masuk akibat opname kena tipes dan demam berdarah. Reyhan pun mulai berbicara dengan Kemala, sobat akrabnya, entah apa yang mereka bahas karena gue pun nggak ngerti.
Waktu terus berlalu, ketua gue hampir frustasi karena belum ada ide sama sekali. Dalam posisi gue saat itu, gue belum bisa berimajinasi dengan maksimal karena ada degup jantung yang nggak bisa gue kontrol.
"Wei, gimana?" Gue yang ditanya cuma bisa jawab, "apa ya? ini gue lagi nyari juga." Gue nggak bohong kalau gue nyari ide, cuma saat itu otak gue lagi mampet buat ngarang, yang ke luar dari pikiran kebanyakan tentang kisah perpisahan, efek patah hati seminggu yang lalu karena tahu cinta gue bertepuk sebelah tangan, tentang seseorang yang sering muncul di mimpi gue dulu dan lagi nggak pengin gue sebut namanya.
"Gimana semisal ceritanya kita buat dari awal stasiun, terus...." Reyhan mulai bercerita bersama Kemala dan si Ndut. Gue mendengarkan dengan saksama, mereka kompak. Di seberang, gue melihat teman-teman yang biasa ngebuat nyaman malah duduk jauhan dari gue dan gue cuma bisa menghela napas karena mereka terlihat asyik sendiri, seakan ada dua kubu di hadapan gue sekarang. Gue yang ngerasa energi gue sudah berkurang banyak akibat interaksi pun memilih tiduran di meja sambil cari referensi di ponsel. Dia di depan gue, hadapnya miring sehingga gue bisa melihat dia dari samping dengan jelas. Dia scroll instagram dengan begitu cepat, gue nggak begitu yakin dia bisa jelas melihat postingan yang ada di sana. Dalam hati gue sedikit kesal, "kapan lo peka, sih?"
"Lha, bukannya tadi sudah?" Penegasan ulang dari Reyhan dilanjutkan dengan Kemala, "lho dari tadi kita itu sudah mencari ide-ide." Kemala melihat gue setengah tertawa. Gue menanggapinya dengan senyuman pasrah.
Akhirnya gue putuskan untuk memanggil Ayu dan Yuke agar mengutarakan idenya setelah lama Kemala yang semula duduk di samping gue berpindah di sebelah Reyhan. Ayu memberikan idenya ke gue, gue menerima dengan kagum, tetapi dia belum mau memberitahu yang lain karena ada yang belum kelar. Karena gue duduk nggak jauh dari Reyhan dan Kemala, gue sempat dengar Kemala berbincang tentang mantan si Reyhan yang gue nggak tahu dia siapa. Gue cuma diam, pura-pura main medsos dengan pemikiran yang melayang ke angkasa raya, tatapan mata gue kosong. Yang gue dengar cuma obrolan Kemala dan Reyhan yang cukup nyaring di telinga gue.
Nggak berselang lama, Ayu berpindah duduk dan gue duduk dengan Yuke. Spontan gue bilang, "gue habis patah hati nih, Ke." Dia natap gue sambil bilang, "Zin, ya?" Gue yang kaget pun membalas, "Zin? Dari mana lo tahu?" Yuke cuma ngelihat gue sambil tertawa kecil, "di depan waktu itu." Sejenak gue membisu. Ha? Depan mana? Gue kaget, jangan-jangan waktu gue cerita ke Ayu yang mantan teman sekelasnya si Zin semasa SMP, dia dengar semua. Tentang cowok yang nggak pengin gue sebut namanya tadi. Karena sudah terlanjur, gue memilih lanjut curhat ke dia dan sengaja gue gedein volume.
"Nih, lihat, gue nggak nyangka ini dia," kata gue sambil menyodorkan ponsel gue ke Yuke. "Gue kaget, kenapa harus Zin?" Pertanyaan Yuke nggak bisa gue jawab, sebenernya gue nggak mau ngebahas Zin di sini, tapi entah kenapa ada sesuatu yang seolah mendesak gue sekarang. "Gue nggak nyangka mendem rasa sepihak sendiri itu menyesakkan. Bayangin, empat tahun, Ke! Empat tahun!" kata gue sok dramatis sambil ngelirik si Reyhan. Yang gue sadari, Reyhan juga sedang antusias berbincang dengan Kemala dengan volume suara yang nggak kalah dengan gue. Setelahnya gue pun memilih berbicara normal dan bercerita apa adanya tentang sosok Zin, tapi gue berkata jujur perihal empat tahun itu. Seketika gue merasa sedikit bego.
"Ayo Rey beli burjo, yang gue tahu burjo di perempatan sana enak." Gue denger Kemala dan Rey berencana buat mampir ke bubur kacang ijo sebelum pulang ke rumah masing-masing. Di akhir pertemuan ini, gue masih duduk di bangku sembari bermain ponsel. Di samping gue ada Yuke dan Ayu. Mereka pamit, gue sudah nggak sanggup buat lihat Reyhan lebih lama entah karena apa. Dia ke luar ruangan, tetapi nggak lama balik karena ada yang tertinggal. Pandangan gue masih terpaku di layar ponsel hingga dia kembali pergi. Yuke dan Ayu kini asyik video call dengan teman mereka.
Dari sini gue belajar, ketika kita memiliki rasa terhadap orang lain, bersiaplah untuk merasakan degup jantung yang tidak pernah diminta. Terkadang kita tidak bisa bedakan antara perih karena terluka atau merasa terbiasa seolah baik-baik saja. Gue nggak tahu masalah ini, setiap orang punya sudut pandangnya masing-masing. Sederhana memang, sederhana nyeseknya.
"Hei, Wei mau?"
Gue dengar tawaran Deyi. Gue nengok ke belakang dan dia membawa satu kotak makan roti cokelat yang ia buat dengan resep dari internet. Gue menerimanya dengan senang hati. Mungkin cokelat bisa membuat gue lebih baik, pikir gue saat itu.
Ya, setidaknya begitu.
°°°